RSS

Minggu, 28 November 2010

Concept of Human Nature And Humanism


Filsafat konfusianisme berpendapat hanya dengan kelembutan dan secara edukatif manusia akan memperoleh pengetahuan. Khonghucu berkata: "Orang dilahirkan dalam keadaan yang sama, dan tidak seharusnya ada perbedaan/diskriminasi dalam hal pendidikan," . Secara hakiki manusia adalah sama walaupun tindakan setiap manusia itu berbeda. Dampaknya Konfusianisme mengutarakan konsep yang berkata “ketika seseorang belajar tanpa mikir tidak akan ada hasilnya, dan mikir tanpa belajar menimbulkan celaka”. Inti ajaran dari Konfusioniseme adalah “Tao” (jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah jalan manusia (docs.google.com).
Confucius mengungkapkan bahwa segenap filsafatnya ditautkan oleh satu prinsip yaitu “Cung dan Su” yang merupakan bagian dari “Jen”. Jen adalah perasaan hati dari realitas manusia dan keberadaannya diantara manusia-manusia. Menurut Konfusius, jen bersifat konkret karena dapat diwujudkan dalam tindakan manusia. Jen mencakup suatu perasaan manusiawi terhadap orang lain dan penghormatan diri-sendiri, suatu perasaan yang menjunjung tinggi keagungan dan martabat manusia. Jen merupakan hal yang membedakan antara seorang manusia dengan binatang.
Manusia memiliki hati untuk mengasihi sesamanya sedangkan binatang bertindak tanpa memikirkan apa yang menjadi dampak bagi hewan lainnya. Manusia mampu mengaktualisasikan jen dalam kehidupannya sehari-hari dan pada saat manusia mengaktualisasikan jen, manusia juga dapat mengaktualisakan setiap potensi yang ada dalam diri mereka masing-masing. Sebagai contoh : “seorang ayah mengasihi anaknya, demikian juga sebaliknya”.. Sama seperti yang ditekankan oleh Aristoteles; dimana manusia dapat mencapai kebahagiaan melalui tindakan yang mengaktualisasikan atau merealisasikan potensi yang ada dalam dirinya (I Wibowo & B Herry Priyono, 2006).
Dalam hal ini, Konfusius memperkenalkan bahwa konsep dasar manusia adalah “heartedness consist in loving others” yang berarti manusia adalah pribadi yang terbentuk dan memiliki kemampuan untuk mengasihi orang lain yang ada di sekitar mereka. Realita jen tergantung dari setiap pribadi manusia. Ketika manusia mampu mengaplikasikan jen yang ada dalam dirinya maka harkat dan martabat manusia akan menjadi naik.
Pandangan Konfusianisme tentang Kemanusiaan dan Alam
Konfusianisme berpendapat “tao” adalah jalan manusia, kode etik individu berlaku untuk orang seorang, berisi tatakrama yang harus dilaksanakan setiap orang. Menurut Konfusius, orang akan bersifat hormat ketika dia sudah melaksanakan tao. Mengabdi pada atasan dengan sungguh-sungguh, dalam memerintah rakyat bertindak dengan sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Dalam pola pemerintahan, tao dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mempertimbangkan apa yang menjadi kebaikan bagi rakyatnya. Oleh karena itu pemerintah yang baik akan mengikuti “tao”. Thjie Tjay Ing mengatakan “Adapun jalan suci manusia itu akan menyempurnakan pemerintahan, dan jalan suci bumi itu ialah menumbuhkan pohon-pohonan. Maka bila ada orang yang tepat di dalam pemerintahan itupun akan mudah terlaksana tumbuhnya pohon pau lo”.
Tanggapan :
Jika diperhatikan secara seksama, ajaran konfusianisme tentang konsep kemanusiaan sama mirip seperti ajaran Yesus yang berlandaskan kasih. Konfusius menjelaskan setiap orang harus bertindak penuh kelembutan dan Yesus pribadi menjelaskan bahwa setiap orang harus mengasihi manusia, meskipun itu musuh sekalipun. Bedanya dalam ajaran konfusius tidak ada istilah memperbaiki kesalahan orang lain, sedangkan Yesus mengatakan ketika saudara kita berbuat salah, maka tanggungjawab kita untuk menegurnya dan mengarahkannya kembali ke jalan yang benar. 

Humanisme menurut Konfusianisme

Di dalam proses perkembangannya, paham humanisme sendiri memiliki banyak versi yang sangat tergantung dari konteks zaman, ataupun gaya berpikir seorang filsuf tertentu, termasuk juga di dalam tradisi berpikir Konfusianisme. Fokus utama konfusianime adalah bagaimana proses belajar manusia terus menerus untuk menjadi manusia sepenuhnya. Konsep manusia dan perbedaannya dengan alam atau surga/langit tidak menjadi faktor utama yang menentukan keberadaan seorang manusia, melainkan proses yang membentuk harmoni dengan alam dan langit. Pertama kali, ia mencetuskan ide “ren” (kemanusiaan, kebajikan), yakni agar penguasa dapat memperhatikan perasaan rakyatnya, mencintai rakyat, tidak boleh memerah rakyat secara berlebihan. Kedua, ia berpendapat bahwa untuk memerintah rakyat, haruslah menggunakan moral, ia tidak setuju dengan pemerintahan yang kejam (Konfusius, Sang Guru Besar,2009).

Karakteristik mendasar dari humanisme menurut Konfusianisme adalah keyakinan pada aspek kreatif yang mendorong perubahan manusia sebagai suatu tindakan komunal dan sebagai tanggapan positif terhadap Langit. Terlihat bahwa totalitas manusia terjadi dalam relasinya dengan orang lain, bukan terisolasi secara individu, serta bagaimana membangun relasi yang positif dengan langit. Akan tetapi, sebelum mencapai kepenuhannya dalam relasi, pertama-tama yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah karakter pribadi yang harus benar. Hal ini diungkapkan Konfusius dalam perkataannya: “Ruling is to set everything to be right. If you start yourself properly, who would dare to deviate from the truth?" (Waley, 1938). Ajaran ini mengarah kepada sifat-sifat ideal manusia sebagai individu dan masyarakat. Dalam prakteknya, konfusianis mempraktikkan chung - kaidah emas positif: perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan, dan shu - kaidah emas negatif: jangan perlakukan orang lain sebagaimana engkau tidak ingin diperlakukan. Pengolahan diri semacam ini tujuannya pada diri sendiri, dan merupakan tujuan utama setiap orang yang menganut pandangan Konfusianisme.
Tanggapan:
Dari semua hal di atas yang membahas tentang konsep humanisme menurut konfusius, kita bisa melihat kepercayaan para konfusianis, yaitu bahwa untuk memperbaiki dunia dan memperbaiki diri perlu proses terus menerus seumur hidup tanpa henti dalam rangka belajar untuk menjadi orang yang sempurna. Oleh sebab itu prinsip ini banyak digunakan sebagai dasar pembentukan tatanan masyarakat. Jika seseorang berusaha semaksimal mugkin belajar untuk menjadi orang yang sempurna, maka akan sangat berpengaruh dalam masyarakat tempat ia hidup dan bersosialisasi. Kelihatannya prinsip seperti ini sangat baik diterapkan dalam lingkungan masyarakat, karena jika setiap manusia terus-menerus memperbaikai diri untuk menjadi sempurna, maka akan menciptakan dunia ini menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni. Jadi semuanya semata-mata berdasarkan tingkah laku, tindakan maupun perilaku manusianya. Hal ini jelas bertentangan dengan iman Kristen yang mengajarkan bahwa manusia menjadi pribadi seutuhnya hanya di dalam Kristus, melalui karya penyelamatanNya. Efesus 2:8-9 mengatakan bahwa semuanya adalah pemberian Allah, bukan hasil pekerjaan manusia.
Allah adalah pencipta dan manusia adalah ciptaanNya. Sebagai ciptaan, manusia harus sadar bahwa diatasnya masih ada pencipta, sehingga yang sempurna adalah Sang Pencipta bukan yang dicipta. Oleh sebab itu Allah lah yang menjadi sumber kebenaran sejati, manusia hanya memancarkan sumber kebenaran itu sebagai ciptaan yang Imago Dei. Allah yang berkenan membukakan jalan kepada manusia untuk menemukan kebenaran sejati itu.
Secara moral dalam tatanan masyarakat, kita tidak bisa menentukan standar mana yang pantas untuk dijadikan standar sebagai pedoman perilaku dan tindakan manusia dan sesamanya. Jika mengikuti prinsip konfusianisme, maka masing-masing orang akan merasa bahwa standar yang dibuatnya adalah paling benar. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa All truth is God’s truth, tidak ada yang lebih besar daripada itu. Akhirnya untuk mencapai manusia yang utuh dan sejati, kita harus kembali kepada origin kita yaitu terletak dalam tangan Allah yang diciptakan dalam Imago Dei.
 referensi:
docs.google.com. (n.d.). Retrieved November 27, 2010, from Filsafat Cina: http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:NdX9Gmw0HbAJ:elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_3.pdf+konfusius+%2Bmanusia+dengan+alam&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgd1WprntDRe8DdmoEn7ZTPsrQd8KR1IiP0X9nhPjBkcUinRy8oofEDSN-uiyGe7vnwmgOUjS

I Wibowo & B Herry Priyono. (2006). Sesudah Filsafat; Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
nn. (2009). Konfusius sang guru besar. Diambil pada tanggal 26 November 2010 di http://www.belajartionghoa.com/2009/11/konfusius-sang-guru-besar/
Waley, A. (1938). The analects of Confusius. New York: A Division of Random House, Inc.

Penulis:
1.Bona Rotua S.              (40420080006)
2.Ellin Carlina                  (40420080012)

Ethics

Etika Confiusius dipandang jelas dan rasional. Kebanyakan orang mengelompokan filsafat timur termasuk india dan cina sebagai filsafat yang berdasarkan pada intuisi atau mistik diantaranya Taoisme. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa filsafat Confiusius seratus kali lebih rasional dari filsafat barat. Bahkan sumber melanjutkan bahwa Confiusius juga lebih jelas dan memiliki beberapa kesamaan dengan Immanuel Kant dan Kristiani. (Kelley L. Ross, P., 2007)
Kasih adalah bagian yang besar dari manusia, sehingga antar sesama manusia ditekankan saling mengasihi. Confiusius menekankan pentingnya cinta kasih dalam filsafat (Kelley L. Ross, P., 2007). Dalam segi etika, mengasihi sesama adalah hal yang esensi dan mendasar. Prinsip mengasihi dari Confiusius didasarkan pada moral dan juga hak setiap orang. Berbuat baik menyimbolkan seorang manusia yang beretika dan menjadikannya bernilai. Secara etika hal ini memang baik, namun tujuan utama alasan sebenarnya untuk berbuat baik dalam berbuat baik itu sendiri yang tidak disadari langsung oleh Confiusius. Bagaimana seseorang bisa melakukan sesuatu tanpa tujuan? Hal yang dilakukan itu juga hanya akan berlalu dengan sia-sia. Selain itu hal ini juga akan menuntun manusia kepada standar yang relative, harus sebaik apakah manusia untuk dikatakan telah mencintai? Bagaimanakah apabila seseorang dengan tetap menunjukan kebaikannya di depan namun dibelakang tetap membenci orang tersebut? Bukankah hal itu tidak melanggar haknya?. Jika kasus-kasus seperti itu terjadi, filsafat ini haruslah dipertanyakan. Bagaimana hak tetap dihormati namun ada kebencian dalam hati yang mungkin tidak dapat terlihat di depannya. Akankah hal ini masih disebut kebaikan?. Confusius benar dalam meletakan hal-hal yang harusnya menjadi esensi dalam diri manusia. Orang yang memperlakukan orang lain dengan kasar tidak melakukan seperti apa yang dia ingin diperlakukan. Dalam hal ini Confiusius jelas-jelas menentang banyak hal yang terjadi di era modern ini misalnya, pemboman oleh Al-Qaedah, perang antara Israel dan Palestina, Perang berdasarkan warna kulit putih di Afrika, peristiwa holocaust oleh Hitler, penganiayaan terhadap orang yang lemah.
http://www.friesian.com/images/kanji-17.gif"Menurut Confusius jika kita membentuk dan membangun diri kita maka kita akan juga membangun orang lain juga" (Kelley L. Ross, P., 2007). Hal ini akan mengajarkan prinsip yang penting juga karena hal ini akan mengajarkan manusia untuk hidup dengan sesamanya. Dibandingkan dengan Taoisme, yang lebih cenderung keluar dari peradaban, Confiusius akan lebih berpeluang untuk menerapkan etika pada masyarakat sekitar. Etika bisa terbangun apabila manusia diperhadapkan dengan objek, yang dalam hal ini Confiusius menekankan bahwa sesama yang harus dijadikan objek untuk dibangun atau dibentuk. Itu sebabnya Confusius membuat sekolah dan membuka pengetahuan-pengetahuan bukan hanya untuk orang kaya namun juga untuk rakyat jelata. Secara etis ketika manusia melihat orang-orang dijalanan seharusnya ada upaya yang nyata untuk berusaha membantunya dengan hal yang paling diperlukannya. Confusius memberikan contoh yang baik untuk melakukan pembentukan pada saat melihat banyak orang yang belum menerima pendidikan. Tidak hanya melihat orang yang berkekurangan dan tidak berpendidikan namun turun tangan dan ikut membantu.
Hal lain yang menyangkut etika yang ditekankan oleh Confusius adalah menghormati orang yang lebih tua. Filsafat ini masih membudaya dibeberapa Negara timur, beda halnya dengan budaya barat yang menjunjung demokrasi tanpa memperhitungkan beberapa hal yang menyangkut budaya. Meskipun tidak mendukung 100% terhadap orang yang lebih tua, namun rasa hormat haruslah tetap ada untuk menjaga keseimbangan bermasyarakat. Korea selatan masih kental akan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua dengan tetap membuka diri terhadap demokrasi. Mungkin ini jadi salah satu faktor yang kuat dalam menjadikan negaranya maju pesat dalam berbagai segi. Secara psikologis, hal yang sangat diperlukan orang yang berumur adalah rasa hormat dari orang yang lebih muda, sehingga dapat dibayangkan dalam satu masyarakat apabila satu aspek yang mendukung menjadi kurang atau tidak tercukupi maka masyarakat tersebut akan pincang sebelah. Adalah tidak etis apabila seseorang menganggap remeh orang yang lebih tua apalagi orang tua yang notabene merawat dan membesarkannya.
Esensi dari moralitas Confusius adalah membatasi keinginan diri sendiri. Mungkin Confusius berpendapat bahwa ketika keinginan diri ditekan maka diri sendiri bisa memenuhi keinginan orang lain (Kelley L. Ross, P., 2007). paham ini sangat baik, karena memulai dengan diri sendiri dan mengakhiri dengan orang lain. Namun seberapa besar orang bisa mempertahankan konsep ini dalam beretika. Tidak ada yang bisa mendefinisikan apa motif dasar dari seseorang melakukan hal tersebut. 
Satu lagi ajaran confusius mengenai konsep dasar etika adalah lebih baik melakukan apa yang benar dari pada terus mencari keuntungan. Dia mengajarkan bahwa mendapatkan keuntungan bukanlah motif yang pantas diberikan untuk melakukan sesuatu untuk seseorang (Kelley L. Ross, P., 2007). Dalam realita kehidupan banyak ditemukan orang-orang yang membantu atau menolong seseorang hanya demi mencari keuntungan, baik menempuh jalan yang benar maupun tidak. Suatu keuntungan tentunya akan mendatangkan kebaikan yang sudah pasti akan menggiurkan bagi setiap orang. Ide untuk menolong orang lain demi mendapatkan keuntungan akan merusak esensi keuntungan yang sebenarnya, hal ini yang membuat confusius memikirkan konsep etika ini.
Ajaran tentang apa yang benar menurut confusius adalah sesuatu yang dipandang benar oleh orang banyak maupun pemerintahan Negara di mana setiap orang yang menganut ajaran confusius berada. Konsep confusius mengenai etika dalam hal ini sudah pasti akan menemukan banyak permasalahan, karena konsep kebenaran yang dianut oleh daerah yang satu belum tentu sama dengan daerah yang lainnya. Budaya yang sangat beragam di tiap daerah apalagi di tiap Negara akan menghasilkan standar mengenai apa yang dipandang benar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang mengalami perbedaan yang sangat jauh. Salah satu contohnya adalah di Negara Timur, jika ada seorang ayah yang  memukul anaknya selama pukulannya itu tidak membawa kematian kepada anaknya diperbolehkan, berbeda dengan Negara Barat, jika seorang ayah memukul anaknya yang akan terjadi adalah ayah yang memukul anaknya tersebut akan dijebloskan ke dalam penjara karena melakukan tindak kekerasan tersebut.
Dari perbandingan konsekuensi yang diterima dengan perbuatan yang sama dilakukan di kedua Negara tersebut, maka akan ditemukan kelemahan dari ajaran confusius mengenai hal ini. Kelemahan dari ajaran confusius tentang lebih baik melakukan apa yang benar dari pada terus mencari apa yang benar adalah berasal dari standar kebenaran yang seharusnya. Maka yang dilakukan oleh oleh pengikutnya adalah melakukan apa yang benar menurut mereka masing-masing sesuai dengan standar yang mereka punya. Selain itu ajaran confusius mengenai hal ini jiga memiliki kelebihan, yaitu melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan ataupun keuntungan. Confusius mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan tulus, hal ini merupakan contoh yang sangat baik untuk dilakukan oleh semua orang.

referensi:
Kelley L. Ross, P. (2007). Confiusius. Retrieved November 28, 2010, from History Philosophy: http://www.friesian.com/confuci.htm

Penulis:
1.Cheenisa S.M               (40720080004)
2.Giovani A.R.T               (40420080013)

The Purpose of Life

Memiliki moral yang baik
       Confucius mengajarkan bahwa tujuan hidup yang paling utama adalah memiliki moral yang baik, seseorang dikatakan pintar jika memiliki moral yang baik. Sesorang dikatakan bermoral baik jika memiliki hubungan yang baik antara seorang dengan yang lain, dimana setiap orang saling memberikan manfaat. Jika terjadi perpecahan diselesaikan dengan cara yang baik. Ini bersesuaian dengan pokok ajaran Confucius yaitu pad diri setiap manusia memiliki Yen. Yen berarti setiap manusia harus memiliki keluhuran budi, cinta, dan kemanusiaan dalam dirinya. Orang yang telah memiliki Yen senantiasa akan bersedia mengorbankan dirinya untuk menjaga keseimbangan dirinya dengan orang lain. Hal ini membuat Yen tetap berada di dalam dirinya. Di dalam masyarakat, orang yang memiliki Yen terlihat sebagai orang yang ulet, rajin, dan suka bekerja. Di dalam kehidupan sebagai individual, orang yang memiliki Yen terlihat sebagai orang yang ramah, tidak mementingkan diri sendiri, dapat merasakan penderitaan orang lain serta dapat menghargai perasaan orang lain dengan mengukur diri sendiri. Dalam hal menghargai perasaan orang lain dengan mengukur diri sendiri, konfisius menyatakan sebagai berikut: “Jangan berbuat sesuatu terhadap orang lain yang tidak Tuan ingin akan menimpa diri Tuan sendiri”
       Selain itu, Confucius juga menekankan moral yang baik yaitu seperti sifat yang rendah hati. Menurut Confucius seorang yang memiliki sifat yang rendah hati tidak akan pernah gagal. Seseorang yang memiliki moral yang baik akan berhasil dalam memperoleh tujuan – tujuan hidup selanjutnya. Ini bersesuaian dengan ajaran Kristus yaitu kasih, hidup saling mengasihi, penguasaan diri, tekun bekerja, dan rendah hati yang terkandung dalam buah Roh (Galatia 5: 22-23). Namun yang membedakannya adalah fokus atau tujuan akhirnya. Jika Confucius tujuan akhir dari moral yang baik adalah untuk diri sendiri dan berfokuskan pada manusia, sementara orang – orang kristen tujuan akhir dari moral yang baik adalah untuk menyenangkan hati Tuhan. Seperti yang tertulis dalam Galatia 5: 24 “Barang siapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginnannya”. Ini berarti orang yang telah menerima Kristus tidak lagi memikirkan hawa nafsu dimana tidak ada lagi egoisme pribadi namun yang ada adalah kasih, hidup saling mengasihi, penguasaan diri, tekun bekerja (kesetiaan) serta kerendahan hati, dan arti kata keinginannya dalam galatia 5:24 menjelaskan bahwa moral baik itu bukanlah keinginan manusia yang fokusnya pada manusia, namun merupakan keinginan Allah yang fokusnya pada kesenangan Allah.

Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
     Confucius adalah seorang yang sangat pintar pada zamannya. Kepintarannya membuat dia pernah terlibat dalam kepemerintahan, dan ajaran – ajarannya sangat dikenal oleh orang banyak hingga saat ini, bahkan diangkat menjadi sebuah agama. Seseorang dikatakan telah menjadi manusia jika dia telah memahami dan menguasai pengetahuan dari nenek – nenek moyang terdahulu kala. Menurut Confucius seseorang tidak boleh berhenti untuk terus belajar, karena seseorang yang merasa dirinya telah pintar akan menjadikan dirinya tidak berarti, sedangkan bagi orang yang merasa dirinya tidak pintar akan menjadikan dirinya berlimpah. Ini juga bersesuaian dengan Firman Tuhan dalam agama kristiani seperti yang tertera dalam Lukas 6:20-26. Dalam injil ini kita juga dapat mentafsirkannya mengenai kaya akan pengetahuan, dimana dikatakan berbahagialah orang yang lapar (akan pengetahuan), karena akan dipuaskan. Celakalah orang yang kenyang (akan pengetahuan), karena akan merasakan kelaparan. Namun, lagi – lagi fokus mereka berbeda Conficius berfokuskan pada manusia, sementara Firman Tuhan berfokuskan kepada Allah, seperti yang tertera dalam Amsal 1:7, bahwa sumber pengetahuan ialah takut akan Tuhan.

Bermanfaat kepada keluarga, lingkungan, negara dan dunia
      Tujuan hidup Confucius selanjutnya yaitu memberikan manfaat kepada keluarga, lingkungan, negara dan dunia. Menurut Confucius sebelum memberi manfaat kepada negara hal yang paling utama adalah bermanfaat bagi keluarga. Confucius menekankan bahwa sebagai orang tua, seseorang harus mengetahui baik buruk sikap dan tingkah laku anaknya, serta senantiasa mendidik anaknya. Confucius berkata bahwa untuk memulai suatu negara dan berhasil mengendalikan negara harus terlebih dahulu dari dirinya memiliki keluarga yang rukun/tenang. Sebab, jika memberikan pengajaran pada keluarga saja tidak berhasil, apalagi menjadi seorang pemimpin di kepemerintahan negara. Ini berlandaskan ajaran terdahulu dari kebudayaan Cina yaitu zaman dahulu nabi tidak keluar ke rumah – rumah, karena berhasil memberikan pengajaran yang berhubungan dengan negara. Ini juga bersesuaian dengan Firman Tuhan dalam agama kristiani, dimana Tuhan Yesus memerintahkan kepada umat-Nya untuk menyebarkan Firman Tuhan dimulai dari yang terdekat hingga ke ujung dunia (Kisah Para Rasul 1:8).

referensi:

(n.d.).
docs.google.com. (n.d.). Retrieved November 27, 2010, from Filsafat Cina: http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:NdX9Gmw0HbAJ:elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_3.pdf+konfusius+%2Bmanusia+dengan+alam&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgd1WprntDRe8DdmoEn7ZTPsrQd8KR1IiP0X9nhPjBkcUinRy8oofEDSN-uiyGe7vnwmgOUjS
I Wibowo & B Herry Priyono. (2006). Sesudah Filsafat; Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Yao, S. (n.d.). Retrieved 11 27, 2010, from http://konghucu.com/Great_Learning/GL_000.html

Penulis:
1.Binsar Yosua S.        (40420080005)
2.Desy Natalia             (40420080007)
 

Disscussion of God

Konfusius percaya kepada Tuhan yang disebut sebagai “Thian” (langit) dan “Shang Di” atau surga. Sebutan ini diberikan oleh para leluhur Cina yang memercayai bahwa kekuatan yang ada di dalam bumi itu berasal dari kekuatan atau kekuasaan yang berasal dari langit. Konsep surga yang dipercayai tidaklah semata-mata konsep dengan posisi antara manusia dengan langit yang vertikal dan juga tidak semata-mata transenden. Surga/Heaven adalah metafor yang dapat mengatur atau memimpin, oleh karena itu, Surga dikaitkan dengan wujud manusia, yakni Kaisar yang berhak mengatur dan memimpin alam semesta, akan tetapi wujud sebenarnya tentang yang berkuasa itu tidaklah diketahui. Di dalam etika kekristenan, surga memiliki arti yang sangat abstrak, jauh, transenden, dan merupakan tempat Allah bertakhta. Berbeda dengan konfusius yang berpikir bahwa langit/surga itulah yang mengatur bumi ini, dan tidak ada sosok lain yang mengatur seperti orang Kristen mengenal itu adalah Allah.
Bagi Konfusius membicarakan tentang ketuhanan merupakan suatu yang tidak penting untuk dilakukan, karena berdasarkan pemikirannya, untuk apa membicarakan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh panca indera. Menurut Konfusius sesuatu yang tidak dapat dilihat itu baiklah hanya dipercaya saja. Ketuhanan Konfusius dibuktikan dalam pernyataan, ketika pada suatu saat Konfusius dicela dan tidak ada orang yang mampu mengerti tentang dia, kemudian Konfucius berkata “Akan tetapi Sorga mengerti saya” (Creel, 1954; 49). Menurut Confucius ajaran-ajaran yang diberikan kepada Konfusius sesungguhnya merupakan ilham yang datang dari Tuhan (Tien) dengan maksud membimbing kepada jalan kesempurnaan (Tao). Fokus ketuhanan dari Konfusius adalah menjadi kesempurnaan tetapi bukan dengan konsep surgawi melainkan konsep duniawi. Konsep duniawi maksudnya adalah konsep mengejar suatu kesempurnaan dengan prinsip hanya melakukan perbuatan baik saja di dunia dan tidak mengenal bahwa sebenarnya Tuhan yang mempengaruhi kesempurnaan manusia. Konfusius hanya percaya bahwa dengan cara berbuat baik, manusia akan menjadi sesosok yang sempurna.
Dalam pandangan Konfucius kedudukan Tuhan memainkan peranan sentral dalam seluruh aspek kehidupan, hanya saja ia tidak mau untuk membicarakan secara panjang lebar. Bahkan dia pernah berkata kepada muridnya, “Kau belum mengetahui kehidupan bagaimana kau hendak mengetahui kematian”. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan. Keyakinan Konfusius pada peranan Tuhan tercemin dalam ajarannya mengenai Ming. Ming berarti keputusan alam, ketuhanan, atau sebagai Tuhan pencipta. Ming juga diartikan sebagai kekuatan yang mempunyai tujuan.
Mengenal Ming berarti mengakui sifat yang tak dapat dielakkan sebagaimana adanya dunia, dan juga bersikap tidak mengindahkan keberhasilan atau kegagalan yang bersifat lahiriah dari seseorang. Maka jika kita berperilaku demikian, pada dasarnya kita tidak akan pernah gagal. Sebab kita telah melakukan kewajiban kita, maka perbuatan kita tersebut telah kita laksanakan secara moral, tanpa menghiraukan apakah secara lahiriah perbuatan itu berhasil atau gagal. Bila sudah terlepas bebas dari kecemasan apakah berhasil atau gagal, kita akan merasa bahagia. Hal yang paling baik yang dikerjakan manusia ialah sekedar berusaha untuk melaksanakan apa yang diketahui seharusnya dikerjakan. Manusia seharusnya berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya terserah kepada Ming (Fung Yu Lan, 1989; 29). Dengan demikian tidak berarti manusia pasrah secara pasif terhadap nasib, karena usaha dipandang penting. Ming menjadi penentu akhir perjalanan historisitas manusia. (Budisutrisna,1998: 31)
Konfusius membangun ajarannya mengenai keutamaan dengan berlandaskan pada kemanusiaan (antropologis dan sosiologis), sedangkan Yesus membangun ajaran-Nya mengenai keutamaan dengan berlandaskan pada semangat iman, semangat teologis (walaupun ada juga sisi antropologis dan sosiologis). Sisi teologis yang Yesus ajarkan memiliki dasar Firman Tuhan yang jelas tertulis di dalam Alkitab. Disisi lain kekhasan ajaran kepercayaan Konfusius terlihat dari sikap rendah hati, tanpa syarat dan tanpa pamrih dari manusia itu sendiri yang berusaha untuk menuju kesempurnaan (kesempurnaan duniawi).
Sementara dalam ajaran Kristiani, kesempurnaan kita umat manusia selama di bumi yang diliputi dosa tidak akan tercapai bila hanya dengan usaha pribadi. Yesus sendiri telah menunjukan kerendahan hati dan kasih sejati dalam Filipi 2: 5-11, “Ia menjadi sama seperti manusia, merendahkan diri bahkan sampai mati di kayu salib.” Yesus datang untuk berada bersama-sama dengan umatnya dan melakukan penggenapan janji Allah tentang kedatangan juru selamat. Pada saat itu Konfusius terlebih dahulu hadir dibandingkan dengan Yesus, karena Konfusius hidup selama masa sebelum masehi, sedangkan Yesus hidup pada tahun masehi. Apabila kita ingin membandingkan lebih dalam lagi tentang ajaran Konfusius dengan Kristiani nampak tidak terlihat perbedaan atau terlihat sama, namun tujuan utama dari kedua ajaran ini berbeda. Yesus mengajarkan kepada umatnya untuk mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu (Mat 6 : 33) “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Bagaimana cara menuju kerajaan Allah itu? Yesus sendiri berkata dalam Yohanes 14 : 6 “Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Perbuatan baik manusia itu muncul dari anugerah yang Tuhan berikan, bukan dari usaha manusia itu sendiri. Konfusius mengajarkan hidup manusia sudah diatur oleh takdir dan manusia memiliki batasan atau usaha pribadi untuk mencapai kesempurnaan yang akan disempurnakan oleh Ming, sedangkan dalam ajaran kristiani ketika kita memilih jalan kebenaran maka janji Allah akan kesempurnaan (kehidupan Kekal) akan dianugrahkan kepada kita, bukan bergantung kepada alam dan yang lainnya, melainkan hanya bergantung kepada Tuhan.

referensi:

Creel, H.G.,1989,Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung,Alih bahasa Soejono Soemargono,PT.Tiara Wacana,Yogyakarta. http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/cin-8.htm
Fung Yu Lan, 1990, A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa Soejono Soemargono, Liberty , Yogyakarta .
Budisutrisna,1998, Historisitas dalam Pandangan Confucius , Fak. Filsafat UGM, Yogyakarta
penulis:
1. Amrin Dominikus S.       (404200080003)
2. Melisa Anggun E.           (40420080019) 

About Confucius

Confucius adalah tokoh filsafat besar dari Cina. Beliau dilahirkan pada tahun 551 SM, pada hari ke-27 bulan lunar ke-8, tetapi hal tersebut masih dipertanyakan oleh para ahli sejarah. Confucius lahir di desa Chang Ping, Negara bagian Lu (Sekarang Chu-fu, propinsi Shandong) dengan nama Latin K’ung Futse. Beliau juga memiliki nama kecil Khung Chiu atau Zhong Ni. Di Asia Timur dan di Taiwan hari kelahiran Confucius, 28 September, diperingati sebagai hari guru. Dalam tubuh Confucius mengalir darah bangsawan Cina kuno.
Di usianya yang masih 3 tahun Confucius telah ditinggal mati oleh ayahnya dan pada saat beliau berumur 17 tahun ibunya meninggal dunia. Ketika Confucius hanya tinggal deng ibunya, merka hidup dalam kemiskinan. Kehidupan berkeluarganya dimulai saat beliau masih berumur 19 tahun dengan menikahi seorang gadis dari negara bagian Song. Pernikahannya dengan Yuan Guan tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Pada usianya yang ke 15 tahun Confucius telah mempelajari banyak buku. Confucius tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana, sopan, dan senang belajar. Beliau orang yang bekerja keras, pekerjaan yang pernah dikerjakannya antara lain, sebagai kepala pembukuan di lumbung padi, pengawas peternakan, dan mandor bangunan.
Confucius dikenal sebagai orang yang berhasil dalam bidang pendidikan. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk membangun kembali situasi dan kondisi bangsa Cina yang sedang dilanda krisis moral. Selain pernah menjadi pejabat negara, Confucius juga merupakan guru yang tekun mengajar tentang kesempurnaan dalam kehidupan individu dan masyarakat, yaitu berdasarkan pada keteguhan, kejujuran, dan adanya rasa tanggung jawab.
Confucius memiliki karakter yang low profile. Beliau selalu tenang dan tidak pernah khawatir. Sifat yang melekat pada dirinya adalah kesederhanaan, lemah, lembut, tekun, suka memberi contoh yang baik, ramah tamah, berbicara mantap dan cermat dalam bertindak. (Lasiyo, 1983 : 9-10).
Kegemarannya dalam belajar dibuktikan dengan perjalananya ke berbagai daerah untuk menimba ilmu. Beliau juga pernah belajar di Ibu Kota Negara, Zhou, dimana Beliau bertemu dan berdiskusi dengan Lau Zi. Confucius menguasai enam seni, yaitu tata-krama, musik, memanah, menunggang kuda, menulis huruf indah (kaligrafi) dan ilmu menghitung (aritmatika). Hingga saat ini belum diketahui siapa saja guru yang mengajar Confucius, tetapi yang pasti adaah beliau selalu mencari guru yang ahli saat menimba ilmu.
Sejarah (Shu), ungkapan-ungkapan (Shi), tata krama (Li) dan musik (Yue) adalah pokok-pokok yang dipelajari oleh Confucius sebelum diangkat menjadi gubernur distrik tengah Lu oleh bangsawan Ding. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Komisaris Polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta Menteri Kehakiman. Namun beliau mengndurkan diri karena merasa kecewa saat mengetahui bahwa alasan pengangkatannya adalah agar Confucius tidak berbuat macam-macam dan tetap diam bila mengerti sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Atasannya pun memberi kesaksian palsu agar beliau dikeluarkan dari pekerjaanya pada tahun 496 SM.
Setelah mengundurkan diri, Confucius banyak menerbitkan Kitab tentang Puisi (The Book of Poetry / Odes = She Cing), menggubah musik, dan menyusun tata krama kuno termasuk menulis dan menerbitkan Kitab Sejarah Musim Semi dan Gugur (Spring and Autumn Annals = Chuen Chiu). Selain itu Confucius juga banyak meluangkan diri untuk mengajar tiap murinya tanpa memandang kaya atau miskin.
Pada usia 67 tahun beliau kembali ke tempat kelahirannya untuk mengabadikan karya-karya klasik dengan cara menggubah bentuk karya tersebut. Dalam usianya yang ke 73 tahun Confucius meninggal dunia, tepatnya pada tahun 472 SM, bulan ke-4 tahun ke-16 dalam masa pemerintahan bangsawan Ai. 

Referensi:
Ebta. (2006, Juli). Pendidikan Nondiskriminatif Menurut Pandangan Confucius. Retrieved November 27, 2010, from Jurnal Mahasiswa Filsafat: http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/cin-11.htm
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
Tong, C. H. (2000). Confucianism in Chinese Culture. Kelana Jaya: Pelanduk.

Penulis:
1. Ari Hardiayana            (40420080004)
2. Vici G.H.                    (40420080028)

Konfucius's Teaching

Ajaran-ajaran Konfusius banyak memberi pengaruh bagi masyarakat di dunia, khususnya Asia Timur. Hal ini terbukti dari buku yang ditulis oleh Michale Hart, yang berjudul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, menempatkan Konfusius dalam urutan kelima setelah Nabi Muhammad, Isaac Newton, Nabi Isa dan Buddha.
Ajaran konfusius ada 5, yaitu :  jen, yi, li, zhi, dan Zhong Shu. Dari 5 ajaran tersebut, ajaran yang terbesar adalah jen dan li. Berikut penjelasan tentang ajaran konfusius :

1.     Jen (manusia)
Ajaran ini lahir akibat dari kehidupan orang Cina yang tak pernah menghargai kehidupan dan tak bersikap prikemanusiaan. Banyak sekali terjadi peperangan. Ajaran Jen Konfisius muncul karena Konfusius meneladani sikap tiga kaisar yang bijaksana, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, saleh, murah hati dan tidak mementingkan kepentingan kelompoknya. ketiga kaisar tersebut adalah : Kaisar Yao (menjadi kaisar dari 2356-2347 B. C); Kaisar Shun (2244-2205), dan Kaisar Yu (mulai memerintah pada tahun 2205 B. C).
Selama hidupnya, Konfusius menaruh perhatian pada moralitas. Bagi Konfusius yang terpenting adalah manusia. Dalam berelasi, yang terpenting adalah jen. Secara harafiah, jen berarti manusia. Konfusius bersama dengan muridnya memperdalam ajaran tentang jen dengan sangat luas, mencakup semua etika Konfusianisme : Jen adalah kebajikan, kasih,, kebaikan, amal, kasih sayang, kemurahan hati, kebajikan yang sempurna, kebaikan hati manusia, dan kemanusiaan.
Bagi Konfusius, jen alah segalanya. Jen merupakan sumber keluhuran, kebijaksanaan, cinta, belas kasih, kebaikan (yi) dan kesetaraan. Sifat alami manusia adalah jen, dan tujuan utama perikemanusiaan (jen) adalah untuk mencapai kesempurnaan moral. Oleh karenanya, jen harus dibuktikan dalam sikap keharmonisan di tengah masyarakat yang plural atau majemuk.
Konfusius mencatat ada 5 jenis hubungan manusia , yaitu :
a.    Raja dan Rakyat
b.    Suami dan Isteri
c.    Ibu, Bapak dan Anak.
d.    Kakak dan Adik
e.    Teman dan Teman.

 Perbandingan ajaran Jen Konfusius dengan Ajaran Yesus
Ajaran Konfusius tentangjen hampir sama dengan ajaran Yesus :
a.    Tentang kasih
Konfusius mengajarkan untuk saling mengasihi dengan sesama manusia saat     manusia berelasi dengan sesamanya. Tuhan Yesus juga mengajarkan untuk saling mengasihi antar sesama manusia seperti diri kita sendiri (Mat 22: 34-40; Luk 10: 25-28). Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa orang yang berbudi adalah orang-orang yang melakukan sifat-sifat mulia, seperti : memaafkan (Mat 5: 38-40; Luk 6: 27-36; Mat 18: 12)
b.    Tentang Kemanusiaan
    Konfusius banyak mengajarkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Begitu juga    dengan Tuhan Yesus. Ajaran Tuhan Yesus ini terlihat pada sikap Yesus yang        melanggar hukum orang Yahudi tentang Hari Sabat. Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Di sini terlihat bahwa Yesus lebih mementingkan kehidupan manusia dibandingkan dengan hukum.

Dari data di atas jelas, bahwa keutamaan hukum Tuhan Yesus dan Konfusius adalah sama, yaitu Hukum Cinta Kasih, walaupun landasannya berbeda.

2.     Yi (Kebenaran dan keadilan)
Pada umumnya, Yi diartikan sebagai kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan. Setiap orang harus memperlakukan sesamanya sesuai dengan kesusilaan dan bukan karena ada pertimbangan lainnya. Falsafah Konfusius mengenai Yi adalah “ jangan perlakukan orang lain dengan cara yang kita sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu, walaupun cara itu digunakan terhadap kita”.
Menurut Fu Yu Lan, Yi adalah suatu keadaan yang seharusnya terjadi. Setiap orang memiliki hal-hal yang harus mereka lakukan sendiri dan bila pertimbangannya adalah moral, maka hal yang mereka kerjakan itu benar adanya. Tetapi jika mereka mengerjakan hal-hal tersebut dengan pertimbangan diluar moral, maka pekerjaan mereka tidak lagi merupakan pekerjaan yang adil/lurus meskipun hal mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Menurut Konfusius, orang yang berbudi hanya mengerti akan kebenaran tetapi yang rendah budinya hanya mengerti tentang keuntungan.

 3.  Li (Kesusilaan)
Pada peradaban Cina yang telah berlangsung selama ribuan tahun, terdapat ritual upacara persembahan kurban untuk memenuhi kehendak langit. dari situlah Confucius memperluas makna Li menjadidengan pengertian baru yaitu kepatutan atau kepantasan perilaku terhadap orang lain. Makna Li meliputi semua nilai-nilai etika, tata-krama, budi pekerti, kesopanan, norma sosial dan moral. Jika harus diartikan dalam satu kata, maka kata yang tepat adalah Kesusilaan.
Li mengatur segala sesuatu yang berhubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Menurut Confucius, dalam menghormati sesuatu, berhati - hati terhadap sesuatu, berani menghadapi sesuatu, dan juga menyatakan kejujuran tentang sesuatu, dibutuhkan kesusilaan. kesusilaan adalah kuncinya untuk membangun hubungan yang baik di dalam komunitas. segala sesuatu yang tidak susila sebaiknya dihindari.
Jika hidup diatur dengan kebajikan dan dilengkapi dengan kesusilaan maka akan menjadikan orang tumbuh rasa harga diri dan berusaha hidup benar. Kesusilaan berada pada hidup yang benar, dan selaras dengan kemurnian hati. Perilaku yang ditunjukan harus sesuai dengan harmoni dan keseimbangan. Setiap tingkah laku memiliki maknanya sendiri. Dalam suatu tindakan hendaknya pantas, sopan, dan sesuai dengan keadaan.

4.     Zhi (Bijaksana)
Pengetahuan bisa diperoleh dari mempelajari fakta-fakta luar tetapi kebijaksanaan berkembang dari pengalaman diri. Zhi secara harafiah berarti kebijaksanaan atau kearifan, juga berarti kepandaian.
Beberapa perkataan Konfusius mengenai kebijaksanaan yang bisa kita pelajari :
·         Bila melihat seorang yang bijaksana, berusahalah menyamainya dan bila melihat seorang yang tidak bijaksana, periksalah dirimu sendiri.
·         Bila melakukan kesalahan, jangan takut untuk memperbaikinya
·         Bila kamu tahu berlakulah sebagai orang yang tahu, bila kamu tidak tahu katakanlah bahwa kamu tidak tahu. Itulah yang disebut mengetahui.
·         Orang yang suka cinta kasih (Jen) tetapi tidak suka belajar akan menanggung cacat bodoh. Orang yang suka kebijaksanaan ( Zhi ) tetapi tidak suka belajar maka akan menanggung cacat kalut jalan pikiran.
Dari kata-kata Konfusius tersebut, terlihat jelas bahwa beliau mengajarkan untuk tidak ragu-ragu dalam belajar suatu kebijaksanaan. Konfusius juga mengajarkan bahwa kebijaksanaan harus dicapai dengan berlandaskan pada kejujuran dan keterbukaan.
5. Zhong Shu (Setia dan Tenggang Rasa)
Zhong atau setia dapat diartikan bahwa orang yang setia adalah orang yang hatinya terletak pada tempat yang semestinya. Shu atau tengggang rasa/tepa selira artinya perbuatan yang muncul dari hati

Referensi
http://spirit-zone.blogspot.com/2008/03/ajaran-konfusianisme-tentang-jen-suatu.html
Ajaran Konfusianisme Tentang Jen: Suatu Studi Perbandingan dengan Etika Kristiani
Monalisa

http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/06/konfusius-mengajarkan-cinta-keramahtamahan-dan-sopan-santun/
Konfusius Mengajarkan Cinta, Keramahtamahan dan Sopan Santun
Ris Sukarma, 06 February 2010

http://www.scribd.com/doc/34934309/20080901150942perspektif-Hindu-Buddha-Kristian
Menerangkan ciri-ciri sahsiah unggul daripada perspektif agama Buddha,Hindu dan Kristian
Syiera Lera, 20080901

http://bungcikal.blogspot.com/2008/03/kumpulan-ajaran-konfusius.html
Kumpulan ajaran Konfusius
bung cikal
17 Maret 2008

http://erabaru.net/china-news-a-culture/42-budaya-tionghoa/2527-konghucu-sang-guru-teladan
Konghucu, Sang Guru Teladan
Rachmat 


Penulis:
1. Ari Hardiayana            (40420080004)
2. Vici G.H.                    (40420080028)