Filsafat konfusianisme berpendapat hanya dengan kelembutan dan secara edukatif manusia akan memperoleh pengetahuan. Khonghucu berkata: "Orang dilahirkan dalam keadaan yang sama, dan tidak seharusnya ada perbedaan/diskriminasi dalam hal pendidikan," . Secara hakiki manusia adalah sama walaupun tindakan setiap manusia itu berbeda. Dampaknya Konfusianisme mengutarakan konsep yang berkata “ketika seseorang belajar tanpa mikir tidak akan ada hasilnya, dan mikir tanpa belajar menimbulkan celaka”. Inti ajaran dari Konfusioniseme adalah “Tao” (jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah jalan manusia (docs.google.com).
Confucius mengungkapkan bahwa segenap filsafatnya ditautkan oleh satu prinsip yaitu “Cung dan Su” yang merupakan bagian dari “Jen”. Jen adalah perasaan hati dari realitas manusia dan keberadaannya diantara manusia-manusia. Menurut Konfusius, jen bersifat konkret karena dapat diwujudkan dalam tindakan manusia. Jen mencakup suatu perasaan manusiawi terhadap orang lain dan penghormatan diri-sendiri, suatu perasaan yang menjunjung tinggi keagungan dan martabat manusia. Jen merupakan hal yang membedakan antara seorang manusia dengan binatang.
Manusia memiliki hati untuk mengasihi sesamanya sedangkan binatang bertindak tanpa memikirkan apa yang menjadi dampak bagi hewan lainnya. Manusia mampu mengaktualisasikan jen dalam kehidupannya sehari-hari dan pada saat manusia mengaktualisasikan jen, manusia juga dapat mengaktualisakan setiap potensi yang ada dalam diri mereka masing-masing. Sebagai contoh : “seorang ayah mengasihi anaknya, demikian juga sebaliknya”.. Sama seperti yang ditekankan oleh Aristoteles; dimana manusia dapat mencapai kebahagiaan melalui tindakan yang mengaktualisasikan atau merealisasikan potensi yang ada dalam dirinya (I Wibowo & B Herry Priyono, 2006).
Dalam hal ini, Konfusius memperkenalkan bahwa konsep dasar manusia adalah “heartedness consist in loving others” yang berarti manusia adalah pribadi yang terbentuk dan memiliki kemampuan untuk mengasihi orang lain yang ada di sekitar mereka. Realita jen tergantung dari setiap pribadi manusia. Ketika manusia mampu mengaplikasikan jen yang ada dalam dirinya maka harkat dan martabat manusia akan menjadi naik.
Pandangan Konfusianisme tentang Kemanusiaan dan Alam
Konfusianisme berpendapat “tao” adalah jalan manusia, kode etik individu berlaku untuk orang seorang, berisi tatakrama yang harus dilaksanakan setiap orang. Menurut Konfusius, orang akan bersifat hormat ketika dia sudah melaksanakan tao. Mengabdi pada atasan dengan sungguh-sungguh, dalam memerintah rakyat bertindak dengan sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Dalam pola pemerintahan, tao dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mempertimbangkan apa yang menjadi kebaikan bagi rakyatnya. Oleh karena itu pemerintah yang baik akan mengikuti “tao”. Thjie Tjay Ing mengatakan “Adapun jalan suci manusia itu akan menyempurnakan pemerintahan, dan jalan suci bumi itu ialah menumbuhkan pohon-pohonan. Maka bila ada orang yang tepat di dalam pemerintahan itupun akan mudah terlaksana tumbuhnya pohon pau lo”.
Tanggapan :
Jika diperhatikan secara seksama, ajaran konfusianisme tentang konsep kemanusiaan sama mirip seperti ajaran Yesus yang berlandaskan kasih. Konfusius menjelaskan setiap orang harus bertindak penuh kelembutan dan Yesus pribadi menjelaskan bahwa setiap orang harus mengasihi manusia, meskipun itu musuh sekalipun. Bedanya dalam ajaran konfusius tidak ada istilah memperbaiki kesalahan orang lain, sedangkan Yesus mengatakan ketika saudara kita berbuat salah, maka tanggungjawab kita untuk menegurnya dan mengarahkannya kembali ke jalan yang benar.
Humanisme menurut Konfusianisme
Di dalam proses perkembangannya, paham humanisme sendiri memiliki banyak versi yang sangat tergantung dari konteks zaman, ataupun gaya berpikir seorang filsuf tertentu, termasuk juga di dalam tradisi berpikir Konfusianisme. Fokus utama konfusianime adalah bagaimana proses belajar manusia terus menerus untuk menjadi manusia sepenuhnya. Konsep manusia dan perbedaannya dengan alam atau surga/langit tidak menjadi faktor utama yang menentukan keberadaan seorang manusia, melainkan proses yang membentuk harmoni dengan alam dan langit. Pertama kali, ia mencetuskan ide “ren” (kemanusiaan, kebajikan), yakni agar penguasa dapat memperhatikan perasaan rakyatnya, mencintai rakyat, tidak boleh memerah rakyat secara berlebihan. Kedua, ia berpendapat bahwa untuk memerintah rakyat, haruslah menggunakan moral, ia tidak setuju dengan pemerintahan yang kejam (Konfusius, Sang Guru Besar,2009).
Karakteristik mendasar dari humanisme menurut Konfusianisme adalah keyakinan pada aspek kreatif yang mendorong perubahan manusia sebagai suatu tindakan komunal dan sebagai tanggapan positif terhadap Langit. Terlihat bahwa totalitas manusia terjadi dalam relasinya dengan orang lain, bukan terisolasi secara individu, serta bagaimana membangun relasi yang positif dengan langit. Akan tetapi, sebelum mencapai kepenuhannya dalam relasi, pertama-tama yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah karakter pribadi yang harus benar. Hal ini diungkapkan Konfusius dalam perkataannya: “Ruling is to set everything to be right. If you start yourself properly, who would dare to deviate from the truth?" (Waley, 1938). Ajaran ini mengarah kepada sifat-sifat ideal manusia sebagai individu dan masyarakat. Dalam prakteknya, konfusianis mempraktikkan chung - kaidah emas positif: perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan, dan shu - kaidah emas negatif: jangan perlakukan orang lain sebagaimana engkau tidak ingin diperlakukan. Pengolahan diri semacam ini tujuannya pada diri sendiri, dan merupakan tujuan utama setiap orang yang menganut pandangan Konfusianisme.
Tanggapan:
Dari semua hal di atas yang membahas tentang konsep humanisme menurut konfusius, kita bisa melihat kepercayaan para konfusianis, yaitu bahwa untuk memperbaiki dunia dan memperbaiki diri perlu proses terus menerus seumur hidup tanpa henti dalam rangka belajar untuk menjadi orang yang sempurna. Oleh sebab itu prinsip ini banyak digunakan sebagai dasar pembentukan tatanan masyarakat. Jika seseorang berusaha semaksimal mugkin belajar untuk menjadi orang yang sempurna, maka akan sangat berpengaruh dalam masyarakat tempat ia hidup dan bersosialisasi. Kelihatannya prinsip seperti ini sangat baik diterapkan dalam lingkungan masyarakat, karena jika setiap manusia terus-menerus memperbaikai diri untuk menjadi sempurna, maka akan menciptakan dunia ini menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni. Jadi semuanya semata-mata berdasarkan tingkah laku, tindakan maupun perilaku manusianya. Hal ini jelas bertentangan dengan iman Kristen yang mengajarkan bahwa manusia menjadi pribadi seutuhnya hanya di dalam Kristus, melalui karya penyelamatanNya. Efesus 2:8-9 mengatakan bahwa semuanya adalah pemberian Allah, bukan hasil pekerjaan manusia.
Allah adalah pencipta dan manusia adalah ciptaanNya. Sebagai ciptaan, manusia harus sadar bahwa diatasnya masih ada pencipta, sehingga yang sempurna adalah Sang Pencipta bukan yang dicipta. Oleh sebab itu Allah lah yang menjadi sumber kebenaran sejati, manusia hanya memancarkan sumber kebenaran itu sebagai ciptaan yang Imago Dei. Allah yang berkenan membukakan jalan kepada manusia untuk menemukan kebenaran sejati itu.
Secara moral dalam tatanan masyarakat, kita tidak bisa menentukan standar mana yang pantas untuk dijadikan standar sebagai pedoman perilaku dan tindakan manusia dan sesamanya. Jika mengikuti prinsip konfusianisme, maka masing-masing orang akan merasa bahwa standar yang dibuatnya adalah paling benar. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa All truth is God’s truth, tidak ada yang lebih besar daripada itu. Akhirnya untuk mencapai manusia yang utuh dan sejati, kita harus kembali kepada origin kita yaitu terletak dalam tangan Allah yang diciptakan dalam Imago Dei.
referensi:
docs.google.com. (n.d.). Retrieved November 27, 2010, from Filsafat Cina: http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:NdX9Gmw0HbAJ:elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_3.pdf+konfusius+%2Bmanusia+dengan+alam&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgd1WprntDRe8DdmoEn7ZTPsrQd8KR1IiP0X9nhPjBkcUinRy8oofEDSN-uiyGe7vnwmgOUjS
I Wibowo & B Herry Priyono. (2006). Sesudah Filsafat; Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
nn. (2009). Konfusius sang guru besar. Diambil pada tanggal 26 November 2010 di http://www.belajartionghoa.com/2009/11/konfusius-sang-guru-besar/
Waley, A. (1938). The analects of Confusius. New York: A Division of Random House, Inc.
Penulis:
1.Bona Rotua S. (40420080006)
2.Ellin Carlina (40420080012)
0 komentar:
Posting Komentar