Konfusius percaya kepada Tuhan yang disebut sebagai “Thian” (langit) dan “Shang Di” atau surga. Sebutan ini diberikan oleh para leluhur Cina yang memercayai bahwa kekuatan yang ada di dalam bumi itu berasal dari kekuatan atau kekuasaan yang berasal dari langit. Konsep surga yang dipercayai tidaklah semata-mata konsep dengan posisi antara manusia dengan langit yang vertikal dan juga tidak semata-mata transenden. Surga/Heaven adalah metafor yang dapat mengatur atau memimpin, oleh karena itu, Surga dikaitkan dengan wujud manusia, yakni Kaisar yang berhak mengatur dan memimpin alam semesta, akan tetapi wujud sebenarnya tentang yang berkuasa itu tidaklah diketahui. Di dalam etika kekristenan, surga memiliki arti yang sangat abstrak, jauh, transenden, dan merupakan tempat Allah bertakhta. Berbeda dengan konfusius yang berpikir bahwa langit/surga itulah yang mengatur bumi ini, dan tidak ada sosok lain yang mengatur seperti orang Kristen mengenal itu adalah Allah.
Bagi Konfusius membicarakan tentang ketuhanan merupakan suatu yang tidak penting untuk dilakukan, karena berdasarkan pemikirannya, untuk apa membicarakan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh panca indera. Menurut Konfusius sesuatu yang tidak dapat dilihat itu baiklah hanya dipercaya saja. Ketuhanan Konfusius dibuktikan dalam pernyataan, ketika pada suatu saat Konfusius dicela dan tidak ada orang yang mampu mengerti tentang dia, kemudian Konfucius berkata “Akan tetapi Sorga mengerti saya” (Creel, 1954; 49). Menurut Confucius ajaran-ajaran yang diberikan kepada Konfusius sesungguhnya merupakan ilham yang datang dari Tuhan (Tien) dengan maksud membimbing kepada jalan kesempurnaan (Tao). Fokus ketuhanan dari Konfusius adalah menjadi kesempurnaan tetapi bukan dengan konsep surgawi melainkan konsep duniawi. Konsep duniawi maksudnya adalah konsep mengejar suatu kesempurnaan dengan prinsip hanya melakukan perbuatan baik saja di dunia dan tidak mengenal bahwa sebenarnya Tuhan yang mempengaruhi kesempurnaan manusia. Konfusius hanya percaya bahwa dengan cara berbuat baik, manusia akan menjadi sesosok yang sempurna.
Dalam pandangan Konfucius kedudukan Tuhan memainkan peranan sentral dalam seluruh aspek kehidupan, hanya saja ia tidak mau untuk membicarakan secara panjang lebar. Bahkan dia pernah berkata kepada muridnya, “Kau belum mengetahui kehidupan bagaimana kau hendak mengetahui kematian”. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan. Keyakinan Konfusius pada peranan Tuhan tercemin dalam ajarannya mengenai Ming. Ming berarti keputusan alam, ketuhanan, atau sebagai Tuhan pencipta. Ming juga diartikan sebagai kekuatan yang mempunyai tujuan.
Mengenal Ming berarti mengakui sifat yang tak dapat dielakkan sebagaimana adanya dunia, dan juga bersikap tidak mengindahkan keberhasilan atau kegagalan yang bersifat lahiriah dari seseorang. Maka jika kita berperilaku demikian, pada dasarnya kita tidak akan pernah gagal. Sebab kita telah melakukan kewajiban kita, maka perbuatan kita tersebut telah kita laksanakan secara moral, tanpa menghiraukan apakah secara lahiriah perbuatan itu berhasil atau gagal. Bila sudah terlepas bebas dari kecemasan apakah berhasil atau gagal, kita akan merasa bahagia. Hal yang paling baik yang dikerjakan manusia ialah sekedar berusaha untuk melaksanakan apa yang diketahui seharusnya dikerjakan. Manusia seharusnya berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya terserah kepada Ming (Fung Yu Lan, 1989; 29). Dengan demikian tidak berarti manusia pasrah secara pasif terhadap nasib, karena usaha dipandang penting. Ming menjadi penentu akhir perjalanan historisitas manusia. (Budisutrisna,1998: 31)
Konfusius membangun ajarannya mengenai keutamaan dengan berlandaskan pada kemanusiaan (antropologis dan sosiologis), sedangkan Yesus membangun ajaran-Nya mengenai keutamaan dengan berlandaskan pada semangat iman, semangat teologis (walaupun ada juga sisi antropologis dan sosiologis). Sisi teologis yang Yesus ajarkan memiliki dasar Firman Tuhan yang jelas tertulis di dalam Alkitab. Disisi lain kekhasan ajaran kepercayaan Konfusius terlihat dari sikap rendah hati, tanpa syarat dan tanpa pamrih dari manusia itu sendiri yang berusaha untuk menuju kesempurnaan (kesempurnaan duniawi).
Sementara dalam ajaran Kristiani, kesempurnaan kita umat manusia selama di bumi yang diliputi dosa tidak akan tercapai bila hanya dengan usaha pribadi. Yesus sendiri telah menunjukan kerendahan hati dan kasih sejati dalam Filipi 2: 5-11, “Ia menjadi sama seperti manusia, merendahkan diri bahkan sampai mati di kayu salib.” Yesus datang untuk berada bersama-sama dengan umatnya dan melakukan penggenapan janji Allah tentang kedatangan juru selamat. Pada saat itu Konfusius terlebih dahulu hadir dibandingkan dengan Yesus, karena Konfusius hidup selama masa sebelum masehi, sedangkan Yesus hidup pada tahun masehi. Apabila kita ingin membandingkan lebih dalam lagi tentang ajaran Konfusius dengan Kristiani nampak tidak terlihat perbedaan atau terlihat sama, namun tujuan utama dari kedua ajaran ini berbeda. Yesus mengajarkan kepada umatnya untuk mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu (Mat 6 : 33) “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Bagaimana cara menuju kerajaan Allah itu? Yesus sendiri berkata dalam Yohanes 14 : 6 “Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Perbuatan baik manusia itu muncul dari anugerah yang Tuhan berikan, bukan dari usaha manusia itu sendiri. Konfusius mengajarkan hidup manusia sudah diatur oleh takdir dan manusia memiliki batasan atau usaha pribadi untuk mencapai kesempurnaan yang akan disempurnakan oleh Ming, sedangkan dalam ajaran kristiani ketika kita memilih jalan kebenaran maka janji Allah akan kesempurnaan (kehidupan Kekal) akan dianugrahkan kepada kita, bukan bergantung kepada alam dan yang lainnya, melainkan hanya bergantung kepada Tuhan.
referensi
referensi
Creel, H.G.,1989,Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung,Alih bahasa Soejono Soemargono,PT.Tiara Wacana,Yogyakarta. http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/cin-8.htm
Fung Yu Lan, 1990, A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa Soejono Soemargono, Liberty , Yogyakarta .
Budisutrisna,1998, Historisitas dalam Pandangan Confucius , Fak. Filsafat UGM, Yogyakarta
Penulis:
Amrin Dominikus S. (40420080003)
Melisa Anggun Ekahana (404200800)